1.Presiden Soekarno
Soekarno
Ir. Soekarno1 (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – wafat di
Jakarta, 21 Juni 1970 dalam umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia
pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan
penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia
adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia
(bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus
1945.
Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang
kontroversial itu, yang konon, antara lain isinya adalah menugaskan
Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga kewibawaannya.
Tetapi Supersemar tersebut disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto
untuk merongrong kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi
Gerakan 30 September. Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara yang anggotanya telah diganti dengan orang yang pro
Soeharto, mengalihkan kepresidenan kepada Soeharto.
Latar belakang dan pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama
Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya
bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali.
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa
Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar
Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan
disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di
tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para
pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu.
Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School
(sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung,
Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker,
yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Keluarga Soekarno
Istri Soekarno
* Oetari
* Inggit Garnasih
* Fatmawati
* Hartini
* Ratna Sari Dewi Soekarno (nama asli: Naoko Nemoto)
* Haryati
Putra-putri Soekarno
* Guruh Soekarnoputra
* Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2001-2004
* Guntur Soekarnoputra
* Rachmawati Soekarnoputri
* Sukmawati Soekarnoputri
* Taufan dan Bayu (dari istri Hartini)
* Kartika Sari Dewi Soekarno (dari istri Ratna Sari Dewi Soekarno)
Masa pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung.
Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang
didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya
ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya
yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada
tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia
(Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap
pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno
hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap
membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru
Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat
tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk
"mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A
dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Soekarno bersama Fatmawati dan Guntur
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan
sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad
Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga
lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai
organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI
dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H
Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif.
Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah
pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula
yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir
Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Soekarno diantara Pemimpin Dunia.JPG
residen Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks
proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita
bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta
mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah
merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia
termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk
untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh
Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke
Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar
memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia
tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan
Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu
dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia
diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia
Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi
kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang
membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara
lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi
Ruang tamu rumah persembunyian Bung Karno di Rengasdengklok.
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil
yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari
sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah
Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan
Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama
pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang
membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para
pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan
kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman
kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan
Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan
alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang
berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan
Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu
bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang
diyakini merupakan tanggal turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada
Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945,
Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945
pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh
KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat
menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana
200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih
bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir
Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia
secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun
akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng
Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno
akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke
Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden
selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single
executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah
menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai
Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala
Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No
X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik.
Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih
demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan,
kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam
menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II
yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan
sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin
Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi
dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin
Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan
sengketa Indonesia-Belanda.
Masa kemerdekaan
Soekarno dan Joseph Broz Tito
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai
Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai
perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan
kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun
karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke
negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah
menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI.
Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali
kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah
presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah
dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan
rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri.
Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet semumur jagung"
membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan
menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut
turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga
berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952
dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Soekarno dan John F Kennedy
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia
Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih
belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri,
menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif
untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan
Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan
konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang
dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan
kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban,
ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik
juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito
(Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah
(Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan
Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya
itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya.
Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan
sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang
masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula,
banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno
bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Soekarno dan Jawaharlal Nehru
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia
internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu
dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev
(Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro
(Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil
Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari
kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan
separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya,
pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak
dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Sakit hingga meninggal
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta,
setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya
dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota
tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan
wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan
Haul Bung Karno.
Peninggalan
Pada tanggal 19 Juni 2008, Pemerintah Kuba menerbitkan perangko yang
bergambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro.Penerbitan itu
bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan
"kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba".
Penamaan
Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo.[3] Ketika
masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang
Jawa[rujukan?]; oleh orang tuanya namanya diganti menjadi
Soekarno[rujukan?]. Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan
nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya
nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda)[rujukan?]. Ia tetap
menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan
tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah[rujukan?].
Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.
Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed
Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung
ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil
Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat
di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki
nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed
di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia,
seperti wikipedia bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa
Jerman, dan bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji.[4]
Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan
nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang
sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan
pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
Presiden Indonesia: ke-1
Masa jabatan : 17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967
Wakil Presiden : Mohammad Hatta
Pendahulu : Tidak ada, jabatan baru
Pengganti : Soeharto
Lahir : 6 Juni 1901 Blitar, Jawa Timur
Meninggal : 21 Juni 1970, jam 07.00 WIB (umur 69) Jakarta
Kebangsaan : Indonesia
Partai politik : PNI
Suami/Istri : Fatmawati Soekarno
GenghisKhan
Dec 9 2008, 11:31 PM
2.Presiden Sementara RI. Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara
(Banten, 28 Februari 1911 - 15 Februari 1989) adalah pejuang pada masa
kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai
Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika
pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda
saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.
Perjalanan hidup
Dua kali menjadi menteri keuangan, satu kali menteri kemakmuran, dan
satu kali wakil perdana menteri, Syafrudin Prawiranegara akhirnya
memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata,
tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik
mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya
pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok,
Jakarta.
"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak
perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah," ujar ketua
Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.
Namanya sangat populer pada 1950-an. Pada Maret 1950, misalnya, selaku
Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang
dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh.
Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan
Gunting Syafruddin. Namun, Syafruddin juga yang membentuk pemerintahan
darurat RI, ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta
ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948. "Atas usaha
Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia.
Akhirnya, Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke
Yogyakarta," tuturnya.
Di masa kecilnya akrab dengan panggilan "Kuding", dalam tubuh Syafruddin
mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan,
masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke
Banten karena terlibat Perang Padri. Menikah dengan putri bangsawan
Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad
Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai jaksa,
cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur.
Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe,
memiliki cita-cita tinggi -- "Ingin menjadi orang besar," katanya.
Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum (sekarang Fakultas Hukum
Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia). Di tengah kesibukannya
sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat
menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur
utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Dari delapan anaknya, Syafruddin mempunyai sekitar lima belas cucu.
Cucunya ketiga belas lahir di Australia sebagai bayi tabung pertama
keluarga Indonesia, 1981. Istrinya, Nyonya T. Halimah Syehabuddin
Prawiranegara, wanita kelahiran Aceh, meninggal dunia pada Agustus 2006.
Biodata
* Pendidikan:
1. ELS (1925)
2. MULO,Madiun (1928)
3. AMS, Bandung (1931)
4. Rechtshogeschool, Jakarta (1939)
* Karir:
1. Pegawai Siaran Radio Swasta (1939-1940)
2. Petugas Departemen Keuangan Belanda (1940-1942)
3. Pegawai Departemen Keuangan Jepang
4. Anggota Badan Pekerja KNIP (1945)
5. Wakil Menteri Keuangan (1946)
6. Menteri Keuangan (1946)
7. Menteri Kemakmuran (1947)
8. Perdana Menteri RI (1948)
9. Ketua Pemerintah Darurat RI (1948)
10. Wakil Perdana Menteri RI (1949)
11. Menteri Keuangan (1949-1950)
12. Gubernur Bank Sentral/Bank Indonesia (1951)
13. Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembangunan Manajemen (PPM) (1958)
14. Pimpinan Masyumi (1960)
15. Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
16. Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984 -- sekarang)
Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia atau Presiden sementara Republik Indonesia
Masa jabatan : 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Lahir : 28 Februari 1911
Meninggal : 15 Februari 1989 (umur 77)
Suami/Istri : T. Halimah Syehabuddin Prawiranegara
Agama : Islam
GenghisKhan
Dec 9 2008, 11:35 PM
3.Presiden RI sementara Assaat
Assaat
Mr. Assaat (18 September 1904–16 Juni 1976) adalah tokoh pejuang
Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa
pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta yang merupakan bagian dari
Republik Indonesia Serikat (RIS).
Mr. Assaat dilahirkan di dusun pincuran landai kanagarian Kubang Putih
Banuhampu adalah orang sumando Sungai Pua, menikah dengan Roesiah,
wanita Sungai Pua di Rumah Gadang Kapalo Koto, yang telah meninggalkan
beliau pada 12 Juni 1949, dengan dua orang putera dan seorang puteri.
Sekitar tahun 1946-1949, di Jalan Malioboro, Yogyakarta, sering terlihat
seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai dengan
irama revolusi. Terkadang ia berjalan kaki, kalau tidak bersepeda
menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Orang ini
tidak lain adalah Mr. Assaat, yang selalu menunjukkan sikap sederhana
berwajah cerah di balik kulitnya yang kehitam-hitaman. Walaupun usianya
saat itu baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai memutih. Kepalanya
tidak pernah lepas dari peci beludru hitam.
Mungkin generasi muda sekarang kurang atau sedikit sekali mengenal
perjuangan Mr. Assaat sebagai salah seorang patriot demokrat yang tidak
kecil andilnya bagi menegakkan serta mempertahankan Republik Indonesia.
Assaat adalah seorang yang setia memikul tanggung jawab, baik selama
revolusi berlangsung hingga pada tahap akhir penyelesaian revolusi. Pada
masa-masa kritis itu, Assaat tetap memperlihatkan dedikasi yang luar
biasa.
Ia tetap berdiri pada posnya di KNIP, tanpa mengenal pamrih dan patah
semangat. Sejak ia terpilih menjadi ketua KNIP, jabatan ini tidak pernah
terlepas dari tangannya. Sampai kepadanya diserahkan tugas sebagai
Penjabat Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta.
Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan, Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) dan Badan Pekerjanya selama revolusi sedang berkobar telah dua
kali mengadakah hijrah. Pertama di Jakarta, dengan tempat bersidang di
bekas Gedung Komedi (kini Gedung Kesenian) di Pasar Baru dan di gedung
Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Karena perjuangan bertambah
hangat, demi kelanjutan Revolusi Indonesia, sekitar tahun 1945 KNIP
dipindahkan ke Yogyakarta.
Kemudian pada tahun itu juga KNIP dan Badan Pekerja, pindah ke
Purworejo, Jawa Tengah. Ketika situasi Purworejo dianggap kurang aman
untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta. Pada saat inilah Mr.
Assaat sebagai anggota sekretariatnya. Tidak lama berselang dia ditunjuk
menjadi ketua KNIP beserta Badan Pekerjanya.
Diasingkan
Api revolusi mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 terus menggelora.
Belanda dengan kekuatan militernya melancarkan apa yang mereka namakan
Agresi Militer II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno dan
Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian di asingkan di
Manumbing di Pulau Bangka.
Rambutnya bertambah putih, karena uban makin melebat sejak diasingkan di
Manumbing dan Mr. Assaat mulai memelihara jenggot. Assaat bukan ahli
pidato, dia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan bagi
kepentingan perjuangan semua dapat diselesaikannya dengan baik, semua
rahasia negara dipegang teguh, itulah sebabnya dia disenangi dan
disegani oleh kawan dan lawan politiknya.
Ketika menjadi Penjabat Presiden, pers memberitakan tentang pribadinya,
antara lain beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, cukup dengan
panggilan Saudara Acting Presiden. Panggilan demikian memang agak
canggung di zaman itu. Akhirnya Assaat bilang, panggil saja saya "Bung
Presiden". Di sinilah letak kesederhanaan Assaat sebagai seorang
pemimpin.
Hal itu tergambar pula dengan ketaatannya melaksanakan perintah agama,
yang tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dan dia termasuk seorang
pemimpin yang sangat menghargai waktu, sama halnya dengan Bung Hatta.
Latar belakang Mr. Assaat
Assaat belajar di sekolah agama "Adabiah" dan MULO Padang, selanjutnya
ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta. Karena jiwanya
tidak terpanggil menjadi seorang dokter, ditinggalkannya STOVIA dan
melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS, Assaat melajutkan studinya
ke Rechts Hoge School (Sekolah Hakim Tinggi) juga di Jakarta.
Ketika menjadi mahasiswa RHS inilah, beliau memulai berkecimpung dalam
gerakan kebangsaan, ialah gerakan pemuda dan politik. Masa saat itu
Assaat giat dalam organisasi pemuda "Jong Sumatranen Bond". Karir
politiknya makin menanjak lalu berhasil menduduki kursi anggota Pengurus
Besar dari "Perhimpunan Pemuda Indonesia". Ketika Perhimpunan Pemuda
Indonesia mempersatukan diri dalam "Indonesia Muda", ia terpilih mejadi
Bendahara Komisaris Besar " Indonesia Muda".
Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat memasuki pula gerakan
politik "Partai Indonesia" disingkat Partindo. Dalam partai ini, Assaat
bergabung dengan pemimpin Partindo seperti: Adnan Kapau Gani, Adam
Malik, Amir Sjarifoeddin dll.
Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, akhirnya tercium
oleh profesornya dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan
walaupun setelah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas
perlakuan demikian, gelora pemudanya makin bergejolak, dia putuskan
meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar
"Meester in de Rechten" (Mr) atau Sarjana Hukum.
Praktek Advokat
Sebagai seorang non kooperator terhadap penjajahan Belanda, sekembalinya
ke tanah air di tahun 1939 Mr. Assaat berpraktek sebagai advokat hingga
masuknya Jepang tahun [[1942]. Di zaman Jepang dia diangkat sebagai
Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.
Dalam sejarah perjuangannya ikut menegakkan Republik Proklamasi,
beberapa catatan mengenai Assaat ialah: tahun 1946-1949 (Desember)
menjadi Ketua BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat).
Desember 1949 hingga Agustus 1950 menjadi Acting Presiden Republik
Indonesia di Yogyakarta. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia
Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden pada Agustus 1950
selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan
Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950 negara-negara bagian RIS
melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.
Selama memangku jabatan, Assaat menandatangani statuta pendirian
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. "Menghilangkan Assaat dari
realitas sejarah kepresidenan Republik Indonesia sama saja dengan tidak
mengakui Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri pertama yang
didirikan oleh Republik Indonesia," ujar Bambang Purwanto dalam pidato
pengukuhan sebagai guru besar UGM September 2004.
Setelah pindah ke Jakarta, Mr. Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI),
sampai ia duduk dalam Kabinet Natsir jadi Menteri Dalam Negeri
September 1950 sampai Maret 1951. Kabinet Natsir bubar, kembali jadi
anggota Parlemen, semenjak itulah Assaat kurang terdengar namanya dalam
bidang politik.
Pada tahun 1955 namanya muncul lagi di permukaan, sebagai formatur
Kabinet bersama Dr. Soekiman Wirjosandjojo dan Mr. Wilopo untuk
mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu
terhembus angin politik begitu kencang, daerah-daerah kurang puas dengan
beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah menyokong Bung
Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena
formal politis waktu itu, Parlemen menolaknya.
Menentang Komunis
Ketika Demokrasi Terpimpin dicetuskan Soekarno, Assaat sebagai demokrat
dan orang Islam menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap
dihormatinya, tetapi yang ditentangnya politik Bung Karno yang
seolah-olah memberi angin pada Partai Komunis Indonesia.
Mr. Assaat saat itu merasakan jiwanya terancam, karena Demokrasi
Terpimpin adalah tak lain dari diktator terselubung, ia selalu diintip
oleh intel serta orang-orang PKI. Kemudian dengan cara menyamar sebagai
orang "akan berbelanja" bersama dengan keluarganya naik becak dari Jl.
Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan dengan naik becak menuju
Stasion Tanah Abang.
Mr. Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Dia
berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu Sumatra Selatan sudah
dibentuk "Dewan Gajah" yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatra
Barat Letkol Ahmad Husein membentuk "Dewan Banteng". Kol. Simbolon
mendirikan "Dewan Gajah" di Sumatera Utara, sementara Kol. Sumual
membangun "Dewan Manguni" di Sulawesi.
Akhirnya dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang telah
diselimuti oleh PKI. Terbentuklah PRRI (Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia). Assaat yang ketika itu sudah tiba di Sumatera Barat
bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera,
setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.
Upacara Kebesaran
Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Mr.
Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Akhirnya dia
ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani "hidup" di dalam
penjara "Demokrasi Terpimpin" selama 4 tahun dari tahun 1962-1966. Ia
baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.
Pada tanggal 16 Juni 1976, Mr. Assaat meninggal dirumahnya yang
sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan. Mr. Assaat gelar Datuk Mudo
diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan
semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.
Perdana menteri pertama Republik Indonesia atau Presiden Sementara Republik Indonesia
Masa jabatan : 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Lahir : 18 September 1904 Dusun Pincuran Landai,kanagarian Kubang Putih, Banuhampu, Sumatera Barat, Indonesia
Meninggal : 16 Juni 1976 (umur 71)
Suami/Istri : Roesiah
Agama : Islam
GenghisKhan
Dec 9 2008, 11:44 PM
4.Presiden Soeharto
Soeharto
Jend. Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir
di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – wafat di Jakarta, 27
Januari 2008 dalam umur 86 tahun) adalah Presiden Indonesia yang kedua,
menggantikan Soekarno, dari 1967 sampai 1998.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa
pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.
Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak
yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi
ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi
menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun
1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa
jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun
tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung
DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama
dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J.
Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa
kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang
stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga
membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki
Timor Timur, dan dianggap sebagai rejim paling korupsi sepanjang masa
dengan jumlah US$15 milyar sampai US$35 milyar.[3] Usaha untuk mengadili
Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita
sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di
Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak,
yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang
Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra
(Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
Latar belakang
Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan
pasukan kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi
komandan peleton, kemudian kompi di dalam militer yang disponsori oleh
Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya
bentrok dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali
kolonialisme di Indonesia. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan
serangan tiba-tibanya yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949 (lihat
Serangan Umum 1 Maret) hanya dalam waktu enam jam. Namun gerakan ini
cenderung ditafsirkan sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia
terhadap pasukan Belanda. Penggagas sebenarnya serangan ini adalah Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja Yogyakarta, Gubernur Militer
serta Menteri Pertahanan.
Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi
Diponegoro Jawa Tengah. Pada 1959 dia terlibat kasus penyelundupan dan
kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad
Yani[rujukan?]. Namun atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia
dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat
(SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat . Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi
komandan penumpasan pemberontakan di Makassar, di bawah komando Kolonel
Alex Kawilarang .
Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando
Mandala yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia
Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik
ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun
1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis
Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.
Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan
Darat mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom yang
dilancarkan Sukarno pada saat itu, sehingga pecah menjadi dua faksi,
sayap kiri dan sayap kanan. Soeharto berada di pihak sayap kanan. Hal
terpenting yang diperoleh Soeharto dari operasi militer ini adalah
perkenalannya dengan Kol. Laut Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny
Murdani yang kemudian tercatat sebagai orang-orang terpenting dan
strategis di tubuh pemerintahannya kelak.
Naik ke kekuasaan
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan,
Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan
lain menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu
Jendral A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang
Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang
terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah
Mayor Jendral Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto
ini terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu.
Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu
menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang
didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan Presiden
Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan
militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera
mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru,
terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri /
Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini
sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa
bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad
yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat
Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari
Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto
untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan
Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden
Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S
(Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional
dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia
yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada
Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya
Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro
Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan
kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI)
membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia
yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu "tersangka
komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas
Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam
penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan
bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia dan telah
menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been Huang,
bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa:
"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka
mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak
darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda
harus memukul keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli
Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and Research di
1965: "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka
dibantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri
konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan sumber daya di
militer.
Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia
setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS
pada tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri
mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis,
menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan
hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan
dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan
politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua
badan intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang
dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap
hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka
komunis dan yang disebut "musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa
hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh
CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim
Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari
Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi
Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena
kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia
dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan begitu juga
pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika
Soeharto mengumjungi Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton
dikutip di New York Times mengatakan bahwa Soeharto adalah "orang
seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia
oleh MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi
diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama.
Dia secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi
partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah.
Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto
pun kemudian meminta nasehat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang
banyak dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek
pemerintahan baru ini adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai
rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta mendorong masuknya
investasi asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa
dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai asisten finansial besar
artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo
sebagai asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi
dengan melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam
sistem kepartaian.
Meredam oposisi
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal
Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis
teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui
pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di
parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini
adalah peran militer di bidang politik yang permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam
Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk
menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan
kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap
potensial mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12
surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa
ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera
diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi
mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah
kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol
dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun
1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai
isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus
memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan
pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak
lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira
tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis,
yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang
mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan
Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya
reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka.
Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai
kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan
ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak
teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden
Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang
umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat
adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik
ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan
Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi
dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang
tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun
pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena
dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya
dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan
oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia
mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah
PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen
ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke
bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada
segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan
industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya
bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam
bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada
tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada
tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu
dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam
negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan
Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea
Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai
politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan
berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden
Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh
bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian
dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai
kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi
ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah istilah "mayoritas
tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan mengebirikan dua
parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai
ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena
pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas
ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial
dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan.
Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan
di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang
karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa,
melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material
tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka
terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang
akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura
yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang
meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat
umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi
tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia
menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli
kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus
memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai
dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan
"electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988,
1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya
tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri,
Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung
menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam
(Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan
menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan
Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas
koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin
memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur
Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang
menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan
pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut
berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi
provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi
PBB pada 1999.
Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah
kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut
kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari anggota
militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia menekan
beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984
kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai,
beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke
tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan
keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di
Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari
kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga
partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar
partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan
pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang
dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
Soeharto turun takhta
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan
Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial
Asia di tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan
Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga
berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai
Presiden pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya,
Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk
ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan,
tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung
DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk
menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia.
Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J.
Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah
terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM.
Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Kasus dugaan korupsi
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial
(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti
Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan
Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90
Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2
persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas
setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi
fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan
dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan
jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan
perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa
pemerintahannya.[1]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti,
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya
telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara
mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan
korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya
dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak
diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
Kasus Perdata
Peninggalan
Bidang Politik
Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah
banyak mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan
dari Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat
memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan partai komunis.
Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga
dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente
Revolucinaria De Timor Leste Independente /partai yang berhaluan
sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka.[Mei
2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa
sipil.[Mei 2008]
Bidang Kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye
Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki
secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk
yang nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari
kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup.
Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang
bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia.
Pada awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang
sekolah (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari
keluarga miskin juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan
menjadi Wajib Belajar 9 tahun.
Wafat Soeharto
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27
Januari 2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan
sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun
jam 13.10 WIB setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari
2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran
Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara
resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya
Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta
akibat kegagalan multi organ.
Kemudian sekitar pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto
diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8,
Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi
sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah
wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak
menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi
tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut
kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian
kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan
Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf
Kalla dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas
tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3
menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden
menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI
Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana
Pemakaman
Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan
Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju
Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari
Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian
dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di
Astana Giri Bangun siang itu sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum
diturunkan ke liang lahat pada pukul 12.14 WIB bersamaan dengan
berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di liang lahat siang
itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh
inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Presiden Indonesia : ke-2
Masa jabatan : 12 Maret 1967 – 21 Mei 1998
Wakil Presiden : Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1973),Adam Malik
(1978),Umar Wirahadikusumah (1983),Sudharmono (1988),Try Sutrisno
(1993),B.J. Habibie (1998)
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : B.J. Habibie
Lahir : 8 Juni 1921 Kemusuk, DI Yogyakarta
Meninggal : 27 Januari 2008, jam 13.10 WIB (umur 87) Jakarta, Indonesia
Kebangsaan : Indonesia
Partai politik : Golkar
Suami/Istri : Ibu Tien Soeharto (almh.)
GenghisKhan
Dec 9 2008, 11:49 PM
5.Presiden Baharuddin Jusuf Habibie
Baharuddin Jusuf Habibie
Baharuddin Jusuf Habibie (lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni
1936; umur 72 tahun) adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Ia
menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada
tanggal 21 Mei 1998. Jabatannya digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) yang terpilih pada 20 Oktober 1999 oleh suara MPR dari hasil Pemilu
1999. Dengan 373 suara MPR, Gus Dur mengalahkan calon presiden Megawati
Soekarnoputri yang memperoleh 313 suara.
Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi
Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang
menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini
dikaruniai dua orang putra yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal.[1]
Baik Alwi Abdul Jalil Habibie maupun R.A.Tuti Marini Puspowardojo bukan
kelahiran Sulawesi Selatan. Alwi Abdul Jalil Habibie lahir pada tanggal
17 Agustus 1908 di Gorontalo dan R.A.Tuti Marini Puspowardojo lahir di
Yogyakarta 10 November 1911. Ibunya anak seorang spesialis mata di
Yogya, ayahnya bernama Puspowardjojo bertugas sebagai pemilik sekolah.
Ia bersaudara tujuh orang.[2]
Beliau belajar teknik mesin di Institut Teknologi Bandung tahun 1954.
Pada 1955-1965 dia melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi
konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat, menerima gelar
diplom ingineur pada 1960 dan gelar doktor ingineur pada 1965 dengan
predikat summa cum laude. Dia kemudian bekerja di
Messerschmitt-Bölkow-Blohm di Hamburg, hingga mencapai puncak karir
sebagai wakil presiden bidang teknologi. Pada 1973 kembali ke Indonesia
atas permintaan mantan presiden Suharto.
Karir di Indonesia
Sebelum menjabat Presiden, B.J. Habibie adalah Wakil Presiden (14 Maret
1998 - 21 Mei 1998) dalam Kabinet Pembangunan VII di bawah Presiden
Soeharto dan Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 sampai
Maret 1998. Pada masa jabatannya sebagai menteri ia pun diangkat menjadi
ketua umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Kasus Timor Timur
Setelah menjabat sebagai Presiden, B.J. Habibie dihadapi oleh masalah
referendum provinsi Timor Timur (Sekarang Timor Leste), ia mengajukan
hal yang cukup menggemparkan publik saat itu, yaitu mengadakan jejak
pendapat kepada warga Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap
menjadi bagian dari Indonesia. Namun akhirnya ia gagal mempertahankan
persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan lepasnya Timor Timur
pada tanggal 30 Agustus 1999.
Presiden Indonesia : ke-3
Masa jabatan : 21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999
Wakil Presiden : Tidak ada
Pendahulu : Soeharto
Pengganti : Abdurrahman Wahid
Wakil Presiden Indonesia : ke-7
Masa jabatan : 14 Maret, 1998 – 21 Mei, 1998
Pendahulu : Try Sutrisno
Pengganti : Megawati Sukarnoputri (pada 1999)
Lahir : 25 Juni 1936 (umur 72) Pare-Pare, Sulawesi Selatan
Partai politik : Golkar
Suami/Istri : Ainun Habibie
Agama : Islam
GenghisKhan
Dec 9 2008, 11:56 PM
6.Presiden Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid
KH Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa
Timur, 7 September 1940; umur 68 tahun; terlahir dengan nama Abdurrahman
Addakhil[1]) adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang
menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia
adalah ketua Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB). Wahid menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh
MPR hasil Pemilu 1999. Masa kepresidenan yang dimulai pada 20 Oktober
1999 berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli
2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah
mandatnya dicabut oleh MPR.
Abdurrahman Wahid menyelenggarakan pemerintahan dengan dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional.
Kehidupan awal
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam
tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim
dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus,
namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah
kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7
September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang
Penakluk".[1] Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama
"Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus"
adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang
berati "abang" atau "mas".[1]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam
keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek
dari ayahnya adalah Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
sementara kakek dari pihak ibu, Bisri Syansuri, adalah pengajar Muslim
pertama yang mengajarkan kelas pada wanita[2]. Ayah Gus Dur, Wahid
Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi menteri Agama
tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok
Pesantren Denanyar Jombang.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah
Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan
Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan
Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[3][4] Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini
merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir
Raden Brawijaya V.[4] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan
penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais
diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan
makamnya di Trowulan.[4]
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya
terlibat dengan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi),
sebuah organisasi yang didirikan oleh tentara Jepang yang saat itu
menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada disana selama
perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun
1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri
Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum
pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku
non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas
pengetahuannya[5]. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya
meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada
April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah
Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu
mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada
tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk
memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan
reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren
dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid
pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara
melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima
pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah
madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti
Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Pendidikan di luar negeri
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrin Agama untuk
belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada
November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh
Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar
Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia
memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; menonton
film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak bola. Wahid juga
terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah
asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial
Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun
1965, Gus Dur kecewa. Ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan
dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas [6].
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia
bekerja, peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Mayor Jendral Suharto
menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan Komunis dilakukan.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir
diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas
dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan
pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan [7].
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode
pendidikan serta pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya.
Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar.
Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di
Universitas Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan
barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar.
Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia
dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970,
Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid
ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya
di Universitas Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Wahid pergi ke
Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Karir awal
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar
negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia membuat
dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) [8], organisasi yg terdiri dari
kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan
majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributor
utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid
juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu,
pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan
cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin dengan
kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur
akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren
yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren
mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren
sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan
ekonomi Indonesia. Wahid memilih batal belajar luar negeri dan lebih
memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk
majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia
mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan
popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah
dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang,
tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa
sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk
mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan
es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya [9]. Pada tahun 1974,
Wahid mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren
Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian,
Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada tahun 1977, Wahid bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai
dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam. Sekali lagi, Wahid
mengungguli pekerjaannya dan Universitas ingin agar Wahid mengajar
subyek tambahan seperti pedadogi, Syariat Islam dan misiologi. Namun,
kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan
universitas dan Wahid mendapat rintangan untuk mengajar subyek-subyek
tersebut. Sementara menanggung semua beban tersebut, Wahid juga
berpidato selama ramadhan di depan komunitas Muslim di Jombang.
Nahdlatul Ulama
Awal keterlibatan
Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk
memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan
dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali
menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Wahid
akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri
Syansuri, memberinya tawaran ketiga [10]. Karena mengambil pekerjaan
ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap
disana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin dirinya
sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik
pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk
sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa
Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti
dirinya [11]. Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki
hubungan dengan orang penting seperti Jendral Benny Moerdani.
Mereformir NU
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam
keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama
akhirnya membentum Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu
reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam
organisasi termasuk perubahan keketuaan. Pada 2 Mei 1982,
pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan
meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era
transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi
akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan
Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu berkata bahwa ia permintaan
mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan
kemundurannya dan Wahid, bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan
persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya [12].
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa
jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai
mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara.
Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok
yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid
berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran
dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima
Pancasila sebagai Ideologi Negara [13]. Untuk lebih menghidupkan
kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik.
Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada
terhambat dengan terlibat dalam politik.
Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama
Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat
Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan
mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima
nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih
para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional
tersebut. Namun demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri
para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas,
daftar anggota Wahid sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat
tinggu NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham. Wahid sebelumnya telah
memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan
diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang bertentangan
dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada
para peserta Munas.[14]
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru.
Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya
menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985,
Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila.[15] Pada tahun 1987,
Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim
tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan
memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia menerima hadiah dalam bentuk
keanggotaan MPR. Meskipun ia disukai oleh rezim, Wahid mengkritik
pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia.
Meskipun hal ini mengasamkan hubungan Wahid dengan pemerintah, Suharto
masih mendapat dukungan politik dari NU.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem
pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem
pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.[16] Pada
tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo,
Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk
mendiskusikan dan menyedikan interpretasi teks Muslim.[17] Kritik
menuduh Gus Dur mengharapkan merubah salam Muslim "assalamualaikum"
menjadi salam sekular "selamat pagi".
Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru
Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah
Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran
politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat
dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini
didukung oleh Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan
didalamnya terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish
Madjid sebagai anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta
Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung
sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat.[18] Pada tahun 1991,
Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang
terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial.
Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan menghentikan
pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan
umum legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk
merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU
terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling
sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara
tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU
ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh
200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada
Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam
yang terbuka, adil dan toleran.[19] Selama masa jabatan keduanya sebagai
ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai merubah banyak pendukungnya menjadi
tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama
dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.[20]
Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk
masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak
terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti
Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur.
Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh
ABRI dalam tindakan intimidasi.[21] Terdapat juga usaha menyuap anggota
NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua
NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi
politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang
besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto. Wahid menasehati
Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden untuk
Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya dan harus membayar mahal
ketika pada Juli 1996 markas PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua
PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi.
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa
pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan
mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu
pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan
beberapa bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh
pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali
Gus Dur.[22] Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk
melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan
Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah.
Kepresidenan
Kepresidenan Gus Dur terkenal akan perjalanan jarak jauhnya, termasuk ke
tempat-tempat kontroversial. Pada November 1999, Wahid mengunjungi
negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan
Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik
Rakyat Cina.[23]
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan keluar negeri lainnya ke
Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi
dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan
perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris,
Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari
Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan
Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di
bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju
Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota
Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi
Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai
tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.[24]
Wahid juga mengunjungi Irian Jaya dan Aceh, provinsi Indonesia yang
memiliki banyak gerakan separatis, yang mengundang kontroversi. Gusdur
juga menimbulkan kontroversi dengan kunjungannya ke Israel, negara yang
tidak disukai banyak orang Indonesia.
Kehidupan pribadi
Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak:
Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus,
dan Inayah Wulandari.
Penghargaan
Wahid ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa
Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal
sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.[4]
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif
Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006.[25] Penghargaan ini
diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis
dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan
kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi
di Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri
dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post
Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka
berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus
Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers
itu.[26] Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur
menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan
tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua
Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post membantah dan
menanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan
pers.[26]
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan
yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat
penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh
yang peduli terhadap persoalan HAM.[27][28] Gus Dur memperoleh
penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid
dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam
membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya
yang sempat terpasung selama era orde baru.[27] Wahid juga memperoleh
penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama
nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.[27]
Presiden Indonesia : ke-4
Masa jabatan : 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001
Wakil Presiden : Megawati Soekarnoputri
Pendahulu : Baharuddin Jusuf Habibie
Pengganti : Megawati Sukarnoputri
Lahir : 7 September 1940 (umur 68) Jombang, Jawa Timur
Partai politik : Partai Kebangkitan Bangsa
Suami/Istri : Shinta Nuriyah
Agama : Islam
Situs resmi : http://www.gusdur.net
GenghisKhan
Dec 10 2008, 12:01 AM
7.Presiden Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarnoputri
Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri (lahir di Yogyakarta, , 23
Januari 1947; umur 61 tahun) adalah Presiden Indonesia dari 23 Juli
2001 - 20 Oktober 2004. Ia merupakan presiden wanita pertama dan
presiden kelima di Indonesia. Namanya cukup dikenal dengan Megawati
Soekarnoputri. Pada 20 September 2004, ia kalah dalam tahap kedua pemilu
presiden 2004. Ia menjadi presiden setelah MPR mengadakan Sidang
Istimewa pada tahun 2001. Sidang Istimewa MPR diadakan dalam menanggapi
langkah Presiden Abdurrahman Wahid yang membekukan lembaga MPR/DPR dan
Partai Golkar. Ia dilantik pada 23 Juli 2001. Sebelumnya dari tahun
1999-2001, ia adalah Wakil Presiden.
Kehidupan awal
Megawati adalah anak kedua Presiden Soekarno yang telah memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ibunya Fatmawati kelahiran
Bengkulu di mana Sukarno dahulu diasingkan pada masa penjajahan belanda.
Megawati dibesarkan dalam suasana kemewahan di Istana Merdeka.
Dia pernah menuntut ilmu di Universitas Padjadjaran di Bandung (tidak
sampai lulus) dalam bidang pertanian, selain juga pernah mengenyam
pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (tetapi tidak
sampai lulus).
Karir politik Mega yang penuh liku seakan sejalan dengan garis kehidupan
rumah tangganya yang pernah mengalami kegagalan. Suami pertamanya,
seorang pilot AURI, tewas dalam kecelakaan pesawat di laut sekitar Biak,
Irian Jaya. Waktu itu usia Mega masih awal dua puluhan dengan dua anak
yang masih kecil. Namun, ia menjalin kasih kembali dengan seorang pria
asal Mesir, tetapi pernikahannya tak berlangsung lama. Kebahagiaan dan
kedamaian hidup rumah tangganya baru dirasakan setelah ia menikah dengan
Moh. Taufiq Kiemas, rekannya sesama aktivis di GMNI dulu, yang juga
menjadi salah seorang penggerak PDIP.
Karir Politik
Jejak politik sang ayah berpengaruh kuat pada Megawati. Karena sejak
mahasiswa, saat kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran, ia
pun aktif di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia).
1986
Tahun 1986 ia mulai masuk ke dunia politik, sebagai wakil ketua PDI
Cabang Jakarta Pusat.Karir politiknya terbilang melesat. Mega hanya
butuh waktu satu tahun menjadi anggota DPR RI.
1993
Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.
1996
Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum
PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang
memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres
Medan. Ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan
perlengkapannya pun dikuasai oleh pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut
satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor DPP PDI.
Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut
secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.
Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996
kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung
Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal
itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan
nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis
mendekam di penjara.
Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega.
Malah, ia makin mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum,
walaupun kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak
pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan
Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah.
Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.
1997
Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997.
Perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega
berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan
istilah "Mega Bintang". Mega sendiri memilih golput saat itu.
1999
Pemilu 1999, PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil
memenangkan pemilu. Meski bukan menang telak, tetapi ia berhasil meraih
lebih dari tiga puluh persen suara. Massa pendukungnya, memaksa supaya
Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden
akan terjadi revolusi.
Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain:
memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam
voting pemilihan Presiden: 373 banding 313 suara.
2001
Namun, waktu juga yang berpihak kepada Megawati Sukarnoputri. Ia tidak
harus menunggu lima tahun untuk menggantikan posisi Presiden Abdurrahman
Wahid, setelah Sidang Umum 1999 menggagalkannya menjadi Presiden.
Sidang Istimewa MPR, Senin (23/7/2001), telah menaikkan statusnya
menjadi Presiden, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut mandatnya
oleh MPR RI.
2004
Masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya
konsolidasi demokrasi di Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah,
pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum
dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di
Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum
presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada
Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa
pemerintahannya.
Perjalanan karir
1. Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonsia (Bandung), (1965)
2. Anggota DPR-RI, (1993)
3. Anggota Fraksi DPI Komisi IV
4. Ketua DPC PDI Jakarta Pusat, Anggota FPDI DPR-RI, (1987-1997)
5. Ketua Umum PDI versi
6. Munas Kemang (1993-sekarang) PDI yang dipimpinnya berganti nama menjadi PDI Perjuangan pada 1999-sekarang
7. Wakil Presiden RI, (Oktober 1999-23 Juli 2001)
8. Presiden RI ke-5, (23 Juli 2001-2004)
Perjalanan pendidikan
1. SD Perguruan Cikini Jakarta, (1954-1959)
2. SLTP Perguruan Cikini Jakarta, (1960-1962)
3. SLTA Perguruan Cikini Jakarta, (1963-1965)
4. Fakultas Pertanian UNPAD Bandung (1965-1967), (tidak selesai)
5. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972), (tidak selesai)
Presiden Indonesia : ke-5
Masa jabatan : 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004
Wakil Presiden : Hamzah Haz
Pendahulu : Abdurrahman Wahid
Pengganti : Susilo Bambang Yudhoyono
Wakil Presiden Indonesia : ke-8
Masa jabatan : 1999 – 2001
Presiden : Abdurrahman Wahid
Pendahulu : BJ Habibie
Pengganti : Hamzah Haz
Ketua Umum : PDI Perjuangan
Sedang Menjabat
Mulai menjabat : 1999
Pendahulu : Tidak ada
Lahir : 23 Januari 1947 (umur 61) Yogyakarta, Indonesia
Partai politik : PDI-Perjuangan
Suami/Istri : Taufiq Kiemas
Agama : Muslim
Situs resmi : website resmi
GenghisKhan
Dec 10 2008, 12:05 AM
8.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono
Jend. TNI Purn. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (lahir di Pacitan, Jawa
Timur, Indonesia, 9 September 1949; umur 59 tahun) adalah mantan
pensiunan jenderal militer Indonesia dan Presiden Indonesia ke-6 yang
terpilih dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pertama kali.
Yudhoyono menang dalam pemilu presiden September 2004 melalui dua
tahapan pemilu presiden atas kandidat Presiden Megawati Sukarnoputri. Ia
mulai menjabat pada 20 Oktober 2004 bersama Jusuf Kalla sebagai Wakil
Presiden.
Yudhoyono yang dipanggil Sus oleh orang tuanya dan populer dengan
panggilan SBY lahir di Pacitan, Jawa Timur pada 9 September 1949).
Melalui amandemen UUD 1945 yang memungkinkan presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat, ia kemudian terpilih menjadi Presiden Republik
Indonesia pertama pilihan rakyat. Ia menjadi presiden Indonesia keenam
setelah dilantik pada 20 Oktober 2004 bersama Wakil Presiden Jusuf
Kalla. Karier militernya terhenti ketika ia diangkat Presiden
Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada tahun
1999 dan tampil sebagai salah seorang pendiri Partai Demokrat. Pangkat
terakhir Susilo Bambang Yudhoyono adalah Jenderal TNI sebelum pensiun
pada 25 September 2000. Selama di militer lebih dikenal sebagai Bambang
Yudhoyono.
Keunggulan suaranya dari Presiden sebelumnya, Megawati Soekarnoputri
pada pemilu 2004 membuatnya terpilih sebagai kepala negara Indonesia.
Dalam kehidupan pribadinya, Ia menikah dengan Kristiani Herawati yang
merupakan anak perempuan ketiga Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo (alm),
komandan RPKAD (kini Kopassus) yang turut membantu menumpas Partai
Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965.
Latar belakang dan keluarga
Ia lahir di Pacitan, Jawa Timur pada 9 September 1949 dari anak pasangan
Raden Soekotjo dan Siti Habibah. Seperti ayahnya, ia pun berkecimpung
di dunia kemiliteran. Selain tinggal di kediaman keluarga di Bogor (Jawa
Barat), SBY juga tinggal di Istana Merdeka, Jakarta. Susilo Bambang
Yudhoyono menikah dengan Kristiani Herawati yang adalah anak perempuan
ketiga Jenderal (Purnawirawan) Sarwo Edhi Wibowo (alm). Komandan militer
Jenderal Sarwo Edhi Wibowo turut membantu menumpas PKI (Partai Komunis
Indonesia) pada tahun 1965. Dari pernikahan mereka lahir dua anak
lelaki, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (lahir 1979) dan Edhie Baskoro
Yudhoyono (lahir 1982).
Agus adalah lulusan SMA Taruna Nusantara tahun 1997 dan Akademi Militer
Indonesia tahun 2000. Seperti ayahnya, ia juga mendapatkan penghargaan
Adhi Mekayasa dan seorang prajurit dengan pangkat Letnan Satu TNI
Angkatan Darat yang bertugas di sebuah batalion infantri di Bandung,
Jawa Barat. Agus menikahi Anissa Larasati Pohan, seorang aktris yang
juga anak dari mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia. Sejak pertengahan
2005, Agus menjalani pendidikan untuk gelar master-nya di Strategic
Studies at Institute of Defense and Strategic Studies, Singapura. Anak
yang bungsu, Edhie Baskoro lulus dengan gelar ganda dalam Financial
Commerce dan Electrical Commerce tahun 2005 dari Curtin University of
Technology di Perth, Australia Barat.
Pendidikan
* Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973
* American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
* Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
* Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
* On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
* Jungle Warfare School, Panama, 1983
* Kursus Senjata Antitank di Belgia dan Jerman, 1984
* Kursus Komando Batalyon, 1985
* Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
* Command and General Staff College, Fort Leavenwort, Kansas, AS
* Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS
* Doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2004.
Karier militer
Tahun 1973, ia lulus dari Akademi Militer Indonesia (Akabri: Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia dengan penghargaan Adhi Makayasa sebagai
murid lulusan terbaik dan Tri Sakti Wiratama yang merupakan prestasi
tertinggi gabungan mental, fisik, dan intelek. Periode 1974-1976, ia
memulai karier di Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad. Pada tahun 1976,
ia belajar di Airborne School dan US Army Rangers, American Language
Course (Lackland-Texas), Airbone and Ranger Course (Fort Benning)
Amerika Serikat.
Kariernya berlanjut pada periode 1976-1977 di Dan Tonpan Yonif 305
Kostrad, Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977), Pasi-2/Ops
Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978, Dan Kipan Yonif Linud 330
Kostrad (1979-1981, Paban Muda Sops SUAD (1981-1982. Periode 1982-1984,
ia belajar di Infantry Officer Advanced Course (Fort Benning) Amerika
Serikat.
Tahun 1983, ia belajar pada On the job training in 82-nd Airbone
Division (Fort Bragg) Amerika Serikat, Jungle Warfare School (Panama,
Kursus Senjata Antitank di Belgia dan Jerman pada tahun 1984, Kursus
Komando Batalyon (1985) dan meniti karier di Komandan Sekolah Pelatih
Infanteri (1983-1985), Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988), dan
Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988).
Periode 1998-1989, ia Sekolah Komando Angkatan Darat dan belajar di US
Command and General Staff College pada tahun 1991. Periode (1989-1993),
ia bekerja sebagai Dosen Seskoad Korspri Pangab, Dan Brigif Linud 17
Kujang 1 Kostrad (1993-1994, Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem
072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995) serta Chief Military Observer
United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (1995-1996).
Pada tahun 1997, ia diangkat sebagai Kepala Angkatan Bersenjata dan Staf
Urusan Sosial dan Politik. Ia pensiun dari kemiliteran pada 1 April
2001 oleh karena pengangkatannya sebagai menteri.
Lulusan Command and General Staff College (Fort Leavenwort) Kansas
Amerika Serikat dan Master of Art (MA) dari Management Webster
University Missouri ini juga meniti karier di Kasdam Jaya (1996), dan
Pangdam II/Sriwijaya sekaligus Ketua Bakorstanasda. Karier militernya
terhenti sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI) dengan pangkat
Letnan Jenderal.
Karier politik
Tampil sebagai juru bicara Fraksi ABRI menjelang Sidang Umum MPR 1998
yang dilaksanakan pada 9 Maret 1998 dan Ketua Fraksi ABRI MPR dalam
Sidang Istimewa MPR 1998. Pada 29 Oktober 1999, ia diangkat sebagai
Menteri Pertambangan dan Energi di pemerintahan pimpinan Presiden
Abdurrahman Wahid. Setahun kemudian, tepatnya 26 Oktober 1999, ia
dilantik sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan
(Menko Polsoskam) sebagai konsekuensi penyusunan kembali kabinet
Abdurrahman Wahid.
Dengan keluarnya Maklumat Presiden pada 28 Mei 2001 pukul 12.00 WIB,
Menko Polsoskam ditugaskan untuk mengambil langkah-langkah khusus
mengatasi krisis, menegakkan ketertiban, keamanan, dan hukum
secepat-cepatnya lantaran situasi politik darurat yang dihadapi pimpinan
pemerintahan. Saat itu, Menko Polsoskam sebagai pemegang mandat
menerjemahkan situasi politik darurat tidak sama dengan keadaan darurat
sebagaimana yang ada dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1959.
Belum genap satu tahun menjabat Menko Polsoskam atau lima hari setelah
memegang mandat, ia didesak mundur pada 1 Juni 2001 oleh pemberi mandat
karena ketegangan politik antara Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR.
Jabatan pengganti sebagai Menteri Dalam Negeri atau Menteri Perhubungan
yang ditawarkan presiden tidak pernah diterimanya.
Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri
melantiknya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
(Menko Polkam) pada 10 Agustus 2001. Merasa tidak dipercaya lagi oleh
presiden, jabatan Menko Polkam ditinggalkannya pada 11 Maret 2004.
Berdirinya Partai Demokrat pada 9 September 2002 menguatkan namanya
untuk mencapai kerier politik puncak. Ketika Partai Demokrat
dideklarasikan pada 17 Oktober 2002, namanya dicalonkan menjadi presiden
dalam pemilu presiden 2004.
Setelah mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam dan sejalan dengan
masa kampanye pemilu legislatif 2004, ia secara resmi berada dalam
koridor Partai Demokrat. Keberadaannya dalam Partai Demokrat menuai
sukses dalam pemilu legislatif dengan meraih 7,45 persen suara. Pada 10
Mei 2004, tiga partai politik yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia, dan Partai Bulan Bintang secara resmi
mencalonkannya sebagai presiden dan berpasangan dengan kandidat wakil
presiden Jusuf Kalla.
Ringkasan karir
* Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976)
* Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad (1976-1977)
* Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
* Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
* Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981)
* Paban Muda Sops SUAD (1981-1982)
* Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
* Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988)
* Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988)
* Dosen Seskoad (1989-1992)
* Korspri Pangab (1993)
* Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994)
* Asops Kodam Jaya (1994-1995)
* Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995)
* Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (sejak awal November 1995)
* Kasdam Jaya (1996-hanya lima bulan)
* Pangdam II/Sriwijaya (1996-) sekaligus Ketua Bakorstanasda
* Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
* Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI (1998-1999)
* Mentamben (sejak 26 Oktober 1999)
* Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid)
* Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri) mengundurkan diri 11 Maret 2004
Penugasan
* Operasi Timor Timur (1979-1980), dan 1986-1988
Jenderal TNI (Purnawirawan) Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah
ditugaskan dalam sebuah operasi di Timor-Timur pada periode 1979-1980
dan 1986-1988 ini meraih gelar doktor (PhD) dalam bidang Ekonomi
Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 3 Oktober 2004. Pada
15 Desember 2005, ia menerima gelar doktor kehormatan di bidang ilmu
politik dari Universitas Thammasat Bangkok (Thailand). Dalam pidato
pemberian gelar, ia menegaskan bahwa politik merupakan seni untuk
perubahan dan transformasi dalam sebuah negara demokrasi yang damai. Ia
tidak yakin sepenuhnya kalau politik itu adalah ilmu.
Penghargaan
* Tri Sakti Wiratama (Prestasi Tertinggi Gabungan Mental Fisik, dan Intelek), 1973
* Adhi Makayasa (lulusan terbaik Akabri 1973)
* Satya Lencana Seroja, 1976
* Honor Graduate IOAC, USA, 1983
* Satya Lencana Dwija Sista, 1985
* Lulusan terbaik Seskoad Susreg XXVI, 1989
* Dosen Terbaik Seskoad, 1989
* Satya Lencana Santi Dharma, 1996
* Satya Lencana United Nations Peacekeeping Force (UNPF), 1996
* Satya Lencana United Nations Transitional Authority in Eastern Slavonia, Baranja, and Western Sirmium (UNTAES), 1996
* Bintang Kartika Eka Paksi Nararya, 1998
* Bintang Yudha Dharma Nararya, 1998
* Wing Penerbang TNI-AU, 1998
* Wing Kapal Selam TNI-AL, 1998
* Bintang Kartika Eka Paksi Pratama, 1999
* Bintang Yudha Dharma Pratama, 1999
* Bintang Dharma, 1999
* Bintang Maha Putera Utama, 1999
* Tokoh Berbahasa Lisan Terbaik, 2003
* Bintang Asia (Star of Asia), 2005, oleh BusinessWeek
* Bintang Kehormatan Darjah Kerabat Laila Utama, 2006, oleh Sultan Brunei
* Doktor Honoris Causa, 2006, oleh Universitas Keio
* Darjah Utama Seri Mahkota, 2008, oleh Yang DiPertuan Agong Tuanku Mizan Zainal Abidin
Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah dicalonkan untuk menjadi penerima
penghargaan Nobel perdamaian 2006 bersama dengan Gerakan Aceh Merdeka
dan Martti Ahtisaari atas inisiatif mereka untuk perdamaian di Aceh.
Masa kepresidenan
MPR periode 1999-2004 mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945
sehingga memungkinkan presiden dan wakil presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat. Pemilu presiden dua tahap kemudian dimenanginya
dengan 60,9 persen suara pemilih dan terpilih sebagai presiden. Dia
kemudian dicatat sebagai presiden terpilih pertama pilihan rakyat dan
tampil sebagai presiden Indonesia keenam setelah dilantik pada 20
Oktober 2004 bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia unggul dari pasangan
Presiden Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi pada pemilu 2004.
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) sebagai prioritas penting dalam
kepemimpinannya selain kasus terorisme global. Penanggulangan bahaya
narkoba, perjudian, dan perdagangan manusia juga sebagai beban berat
yang membutuhkan kerja keras bersama pimpinan dan rakyat.
Di masa jabatannya, Indonesia mengalami sejumlah bencana alam seperti
gelombang tsunami, gempa bumi, dll. Semua ini merupakan tantangan
tambahan bagi Presiden yang masih bergelut dengan upaya memulihkan
kehidupan ekonomi negara dan kesejahteraan rakyat.
Susilo Bambang Yudhoyono juga membentuk UKP3R, sebuah lembaga
kepresidenan yang diketuai oleh Marsilam Simandjuntak pada 26 Oktober
2006. Lembaga ini pada awal pembentukannya mendapat tentangan dari
Partai Golkar seiring dengan isu tidak dilibatkannya Wakil Presiden
Jusuf Kalla dalam pembentukannya serta isu dibentuknya UKP3R untuk
memangkas kewenangan Wakil Presiden, tetapi akhirnya diterima setelah
SBY sendiri menjelaskannya dalam sebuah keterangan pers.
Layanan SMS Presiden
Sekitar bulan Juni 2005, Presiden SBY memulai layanan pesan singkat
(SMS) ke nomor telepon selulernya di 0811109949 namun esok harinya
terjadi gangguan teknis karena banyaknya SMS yang masuk dan sekarang
diganti cukup dengan SMS ke 9949 setelah itu SMS akan dipilah dan
disampaikan ke presiden. Nomor 9949 adalah tanggal lahir beliau (9
September 1949).
Tanggal 28 Juni 2005, Presiden SBY mengirimkan SMS kepada masyarakat
dengan nama pengirim Presiden RI yang berisi tentang pencegahan narkoba.
Kebenaran SMS ini sudah dikonfirmasikan dan juru bicara Presiden
menyatakan berbagai SMS akan menyusul.
Presiden Indonesia : ke-6
Sedang Menjabat
Mulai menjabat : 20 Oktober 2004
Wakil Presiden : Jusuf Kalla
Pendahulu : Megawati Soekarnoputri
Lahir : 9 September 1949 (umur 59) Pacitan, Jawa Timur, Indonesia
Partai politik : Partai Demokrat
Suami/Istri : Ani Yudhoyono
Agama : Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar